PERPANJANG USIAMU DENGAN MENULIS

PERPANJANG USIAMU DENGAN MENULIS

Saturday, October 19, 2013

Tour de Jambu Lipo, Rajo Manjalang Rantau

Tour de Jambu Lipo, Rajo Manjalang Rantau
Melacak Kejayaan Kerajaan Jambu Lipo di Sijunjung
Padang Ekspres • Sabtu, 20/07/2013 13:28 WIB • Riki Chandra • 670 klik
Rumah bagonjong ini adalah pusat kerajaan Jambu Lipo di Sijunjung
Rentang sejarah pan­jang Minangkabau sudah tak bisa diragukan lagi dan terpatri dalam garis sejarah Indonesia. Berbagai situs dan warisan budayapun hingga kini masih bisa dilacak, termasuk yang berada di Sijunjung. Ya, di Sijun­jung ini ternyata hingga saat ini masih eksis kerajaan Jambu Lipo yang tetap bertahan dan menjalankan ritual adat dan budayanya.

Sumatera Barat, menyim­pan cerita tentang adat Minang­kabau, serta basis-basis pe­nye­ba­ran adat, budaya, serta agama. Se­perti, Batusangkar, dengan Istano Pagaruyuang-nya, atau Ma­kam Syeh Burhanudin di Pariaman, dan sebagainya. Na­mun, tidak semua dari pening­ga­lan-peninggalan budaya itu di­les­tarikan dengan baik.


Padang Ekspres bersama rombongan Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) Regional ke 11 tahun 2013 Sumbar, yang dise­leng­garakan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang, mencoba menyisir beberapa tempat bersejarah di Kabupaten Sijunjung.

Sijunjung merupakan salah satu dari 19 Kabupaten/Kota di Sumbar, yang memiliki andil besar dalam perjalanan sejarah Sumbar, Bahkan, sejarah Bang­sa Indonesia. Sebab, di Sijunjung ada Nagari Sumpurkudus, yang termasuk salah satu basis Pe­me­rin­tahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Begitu juga peninggalan-peninggalan sejarah budaya dan adat-istiadat. Salah satunya Kerajaan Jambu Lipo yang ter­letak di Kenagarian Lubuk Ta­rok.  Pada daerah ini ditemukan berbagai peninggal benda bu­daya seperti adanya sebuah Kerajaan, Rumah Gadang 13 ruang, serta lesung panjang.

Dengan adanya bangunan-bangunan tua itu, terlihat betul, bahwa daerah Kerajaan Jambu Lipo memang sudah tua, dan seharusnya dilestarikan. Kendati demikian, akses jalan menuju Kerajaan Jambu Lipo yang ha­nya berjarak sekitar 20 KM dari Muaro Sijunjung, sangat mem­pri­hatinkan. Lebih-lebih saat hari hujan, aspal tanahnya naik, dan mengakibatkan becek yang sulit untuk dilalui sepeda motor.

Lebih memiriskan lagi, tak satupun petunjuk jalan yang dipasang gerbang masuk jalan utama, yang menyatakan di dalam sana ada sebuah istana Kerajaan. Tidak adanya pan­duan dan petunjuk jalan ini, menyebabkan para pengunjung ke­bingunan menuju lokasi lokasi itu.

Hati ini iba saat melihat nasib Kerajaan Jambu Lipo. Perasaan semula mem­ba­yang­kan Kerajaan yang begitu megah ternyata salah. Kerajaan Jambu seperti tak bertuan saja. Ke­ra­jaan bak Rumah Bagonjong kecil itu bercat kuning dan kusennya berwarna hitam. Atapnyapun sudah tak kokoh. Sisi kanan, kiri, depan, belakang fondasinya mulai goyah.

Menurut Hamidi Nan Kodo Kayo, 62, salah seorang pen­du­duk setempat, di Kerajaan Jam­bu Lipo ada tiga Raja, atau biasa disebut dengan Rajo Tigo Selo. Yaitu, Rajo Alam, Rajo Ibadat, serta Rajo Adat. Ketiga Raja ini mesti seiya dan sekata dalam memutuskan suatu persoalan adat. Kendati demikian, yang ditinggian dari tiga Raja tersebut adalah Rajo Alam. Sebab, semua seluruh persoalan bermuara dan diselesaikan oleh Rajo Alam.

“Kalau Rajo Alam sukunya Chaniago, sebutannya Rajo Gadang, menguasai masalah Agama, Adat, dan seluruh per­soa­lan, dan berasal dari Pa­ga­ruyung. Rajo Ibadat sukunya Piliang, membahas dan me­ngua­sai urusan Agama, menurut sejarah datangnya dari Solok Selatan. Serta Rajo Adat sukunya Melayu, menguasai tentang adat-istiadat,” ujar lelaki yang mengaku Mambako pada Rajo Alam, karena Rajo Alam keme­na­kan dari Ayahnya.

Hamidi yang berasal dari suku Panai Melayu itu menye­bu­t­kan, dalam lingkungan Kena­ga­rian Lubuk Tarok itu sendiri terdiri dari empat sudut. Serta memiliki empat suku pula. Yaitu,  suku Melayu, Chaniago, Piliang, dan Pitopang.

“Tapi, karena Kerajaan ini adanya di Nagari, karena ini kampung Raja, jadi, tidak ada sukunya. Dan disebut orang Kerajaan Jambu Lipo saja,” papar pria yang sudah merantau hingga ke Irian Jaya ini.
Menurut Tuanku Rajo Ga­dang Firman Bagindo Tan A­meh, yang Dipertuan Rajo Alam Jambu Lipo, dalam catatan sejarah Kerajaan Jambu Lipo ini telah ada sejak abad ke-10 Ma­sehi. Raja pertamanya bernama Dung­ku Dangaka.

“Dulunya, pusat peme­rin­ta­han Kerajaan Jambu Lipo ini di Bukit Jambu Lipo. Baru, setelah pemerintahan Raja ke-4 yang bernama Buayo Kumbang me­nga­dakan perundingan, dan disepakatilah memindahkan pusat pemerintahan ke Nagari Lubuk Tarok,” jelas Tuanko Rajo Alam.

Firman Bagindo Tan Ameh yang saat ini menduduki posisi Raja yang ke-14 sebagai Pemim­pin Kerajaan menyebutkan, jika di Kerajaan Jambu Lipo sendiri, adat yang dibawa Datuak Par­patih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, sama-sama diberlakukan.

“Titiak Dari Ateh, ataupun Mambasuik Dari Bumi, samo-samo dipakai di Kerajaan Jambu Lipo ini,” tegasnya.

Lebih lanjut Firman Bagindo Tan Ameh memaparkan, saat ini, kondisi Kerajaan Jambu Lipo sangat memprihatinkan keberadaannya. Bahkan, sejak tahun 1932 hingga sekarang, belum pernah terjamah tangan pembaharuan. Kurangnya du­ku­ngan dari Pihak Pemerintah, semakin membuat Kerajaan ini terburuk dan tidak terurus.

“Istana hanya difungsikan saat melangsungkan kegiatan-kegiatan adat Nagari. Serta dihuni oleh kemenakan saya. Sementara, Pemerintah seperti memandang Kerajaan ini sebe­lah mata. Padahal, kerajaan ini merupakan sumber, dan dapat menjadi pusat Pemerintahan di Nagari” tuturnya.

Rajo Firman berharap, agar Pemerintah lebih memper­hati­kan keadaan Kerajaan Jambu Lipo. Dengan kata lain, baik Pemerintah Sijunjung maupun Sumbar, tidak hanya sekadar memperhatikan LKAAM, Bun­do Kanduang. Namun, juga memberikan perhatian lebih untuk melestarikan keberadaan peninggalan-peninggalan lama. Sebab, Kerajaan Jambu Lipo ini sebetulnya sudah menjadi Lem­baga Adat jauh sebelum adanya LKAAM dan Bundo Kanduang.

‘Kerajaan Jambu Lipo ter­magi­nalkan oleh kemodernan zaman. Sebetulnya, Sudah wak­tunya Pemerintah mem­per­ha­tikan kembali nilai-nilai sejarah yang telah memudar, terutama dikalangan generasi muda,” ungkap Rajo Firman.

Kendati demikian, Rajo Tan Ameh ini mengaku, selalu ber­gerak dan berjalan terus untuk melestarikan kebudayaan Jam­bu Lipo, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Bahkan, saat pihak Kerajaan juga telah membentuk sebuah Badan Pe­les­tarian Adat dan Budaya Ke­ra­jaan Jambu Lipo. Serta mem­bentuk sebuah sanggar seni tradisional dengan nama Kalam­bu Suto.

“Kita selalu melestarikan kebudayaan yang telah ada sejak turun-temurun dulunya. Seperti tari tanduak, basilek, dan lain sebagainya,” ujar Rajo Alam itu.

Tour De Jambu Lipo

Di sisi lain, tradisi adat yang tak pernah hilang yaitu, Rajo manjalang rantau (mengunjungi daerah rantaunya). Hal ini ber­tu­juan untuk memberikan sita­wa sidingin (pengobat rindu dan mengenang masa lampau), se­per­ti ungkapan, Duduak Pa­ngu­lu Sangketo Abih, Bajalan Rajo Nagari salasai (kalau Penghulu datang semua per­selihan akan habis, berjalannya Raja, semua persoalan yang ada di Nagari akan selesai).

Menurut Rajo Firman, tu­juan manjalang Rantau ini juga untuk menjalin silaturrahmi antara pusat Kerajaan dengan Nagari Rantau.

“Kita akan mengunjungi sebanyak 27 daerah yang ada di Kabupaten Sijunjung, Dhar­mas­raya dan Kabupaten Solok Se­la­tan. Makanya, bahasa moder­nnya kita sebut Tour De Jambu Lipo,” tuturnya sembari senyum.

Perjalanan ketiga Rajo atau Rajo Tigo Selo ini mengunjungi Rantau, akan menghabiskan sekitar satu bulan perjalanan. Serta, para Rajo akan melakukan prosesia adat sesuai dengan yang telah dilaksanakan secara turun-temurun.

“Kita melakukan perjalanan manjalang Rantau ini, sebanyak satu kali dalam tiga Tahun. Ada sebagian berjalan kaki, dengan kendaraan darat, dan adanya juga yang mengikuti aliran su­ngai dengan perahu. Makanya kita sebut Tour De Jambu Lipo ini, Tour De terpanjang,” tutup­nya. (*)

No comments:

Post a Comment

KOMPETENSI INTI DAN KOMPTENSI DASAR FISIKA SMA/MA KURIKULUM 2013 REVISI

Tahun ajaran baru telah tiba, tiba pula saatnya bagi para guru mempersiapkan  memperbaharui kembali perangkat pembelajarannya. apa lagi ba...