Tour de Jambu Lipo, Rajo Manjalang Rantau
Melacak Kejayaan Kerajaan Jambu Lipo di Sijunjung
Rentang
sejarah panjang Minangkabau sudah tak bisa diragukan lagi dan terpatri
dalam garis sejarah Indonesia. Berbagai situs dan warisan budayapun
hingga kini masih bisa dilacak, termasuk yang berada di Sijunjung. Ya,
di Sijunjung ini ternyata hingga saat ini masih eksis kerajaan Jambu
Lipo yang tetap bertahan dan menjalankan ritual adat dan budayanya.
Sumatera Barat, menyimpan
cerita tentang adat Minangkabau, serta basis-basis penyebaran adat,
budaya, serta agama. Seperti, Batusangkar, dengan Istano
Pagaruyuang-nya, atau Makam Syeh Burhanudin di Pariaman, dan
sebagainya. Namun, tidak semua dari peninggalan-peninggalan budaya
itu dilestarikan dengan baik.
Padang Ekspres bersama
rombongan Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) Regional ke 11 tahun 2013
Sumbar, yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
Padang, mencoba menyisir beberapa tempat bersejarah di Kabupaten
Sijunjung.
Sijunjung merupakan salah satu
dari 19 Kabupaten/Kota di Sumbar, yang memiliki andil besar dalam
perjalanan sejarah Sumbar, Bahkan, sejarah Bangsa Indonesia. Sebab, di
Sijunjung ada Nagari Sumpurkudus, yang termasuk salah satu basis
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Begitu juga
peninggalan-peninggalan sejarah budaya dan adat-istiadat. Salah satunya
Kerajaan Jambu Lipo yang terletak di Kenagarian Lubuk Tarok. Pada
daerah ini ditemukan berbagai peninggal benda budaya seperti adanya
sebuah Kerajaan, Rumah Gadang 13 ruang, serta lesung panjang.
Dengan adanya bangunan-bangunan
tua itu, terlihat betul, bahwa daerah Kerajaan Jambu Lipo memang sudah
tua, dan seharusnya dilestarikan. Kendati demikian, akses jalan menuju
Kerajaan Jambu Lipo yang hanya berjarak sekitar 20 KM dari Muaro
Sijunjung, sangat memprihatinkan. Lebih-lebih saat hari hujan, aspal
tanahnya naik, dan mengakibatkan becek yang sulit untuk dilalui sepeda
motor.
Lebih memiriskan lagi, tak
satupun petunjuk jalan yang dipasang gerbang masuk jalan utama, yang
menyatakan di dalam sana ada sebuah istana Kerajaan. Tidak adanya
panduan dan petunjuk jalan ini, menyebabkan para pengunjung kebingunan
menuju lokasi lokasi itu.
Hati ini iba saat melihat nasib
Kerajaan Jambu Lipo. Perasaan semula membayangkan Kerajaan yang
begitu megah ternyata salah. Kerajaan Jambu seperti tak bertuan saja.
Kerajaan bak Rumah Bagonjong kecil itu bercat kuning dan kusennya
berwarna hitam. Atapnyapun sudah tak kokoh. Sisi kanan, kiri, depan,
belakang fondasinya mulai goyah.
Menurut Hamidi Nan Kodo Kayo,
62, salah seorang penduduk setempat, di Kerajaan Jambu Lipo ada tiga
Raja, atau biasa disebut dengan Rajo Tigo Selo. Yaitu, Rajo Alam, Rajo
Ibadat, serta Rajo Adat. Ketiga Raja ini mesti seiya dan sekata dalam
memutuskan suatu persoalan adat. Kendati demikian, yang ditinggian dari
tiga Raja tersebut adalah Rajo Alam. Sebab, semua seluruh persoalan
bermuara dan diselesaikan oleh Rajo Alam.
“Kalau Rajo Alam sukunya
Chaniago, sebutannya Rajo Gadang, menguasai masalah Agama, Adat, dan
seluruh persoalan, dan berasal dari Pagaruyung. Rajo Ibadat sukunya
Piliang, membahas dan menguasai urusan Agama, menurut sejarah
datangnya dari Solok Selatan. Serta Rajo Adat sukunya Melayu, menguasai
tentang adat-istiadat,” ujar lelaki yang mengaku Mambako pada Rajo Alam,
karena Rajo Alam kemenakan dari Ayahnya.
Hamidi yang berasal dari suku
Panai Melayu itu menyebutkan, dalam lingkungan Kenagarian Lubuk
Tarok itu sendiri terdiri dari empat sudut. Serta memiliki empat suku
pula. Yaitu, suku Melayu, Chaniago, Piliang, dan Pitopang.
“Tapi, karena Kerajaan ini
adanya di Nagari, karena ini kampung Raja, jadi, tidak ada sukunya. Dan
disebut orang Kerajaan Jambu Lipo saja,” papar pria yang sudah merantau
hingga ke Irian Jaya ini.
Menurut Tuanku Rajo Gadang
Firman Bagindo Tan Ameh, yang Dipertuan Rajo Alam Jambu Lipo, dalam
catatan sejarah Kerajaan Jambu Lipo ini telah ada sejak abad ke-10
Masehi. Raja pertamanya bernama Dungku Dangaka.
“Dulunya, pusat pemerintahan
Kerajaan Jambu Lipo ini di Bukit Jambu Lipo. Baru, setelah pemerintahan
Raja ke-4 yang bernama Buayo Kumbang mengadakan perundingan, dan
disepakatilah memindahkan pusat pemerintahan ke Nagari Lubuk Tarok,”
jelas Tuanko Rajo Alam.
Firman Bagindo Tan Ameh yang
saat ini menduduki posisi Raja yang ke-14 sebagai Pemimpin Kerajaan
menyebutkan, jika di Kerajaan Jambu Lipo sendiri, adat yang dibawa
Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, sama-sama
diberlakukan.
“Titiak Dari Ateh, ataupun Mambasuik Dari Bumi, samo-samo dipakai di Kerajaan Jambu Lipo ini,” tegasnya.
Lebih lanjut Firman Bagindo Tan
Ameh memaparkan, saat ini, kondisi Kerajaan Jambu Lipo sangat
memprihatinkan keberadaannya. Bahkan, sejak tahun 1932 hingga sekarang,
belum pernah terjamah tangan pembaharuan. Kurangnya dukungan dari
Pihak Pemerintah, semakin membuat Kerajaan ini terburuk dan tidak
terurus.
“Istana hanya difungsikan saat
melangsungkan kegiatan-kegiatan adat Nagari. Serta dihuni oleh kemenakan
saya. Sementara, Pemerintah seperti memandang Kerajaan ini sebelah
mata. Padahal, kerajaan ini merupakan sumber, dan dapat menjadi pusat
Pemerintahan di Nagari” tuturnya.
Rajo Firman berharap, agar
Pemerintah lebih memperhatikan keadaan Kerajaan Jambu Lipo. Dengan
kata lain, baik Pemerintah Sijunjung maupun Sumbar, tidak hanya sekadar
memperhatikan LKAAM, Bundo Kanduang. Namun, juga memberikan perhatian
lebih untuk melestarikan keberadaan peninggalan-peninggalan lama. Sebab,
Kerajaan Jambu Lipo ini sebetulnya sudah menjadi Lembaga Adat jauh
sebelum adanya LKAAM dan Bundo Kanduang.
‘Kerajaan Jambu Lipo
termaginalkan oleh kemodernan zaman. Sebetulnya, Sudah waktunya
Pemerintah memperhatikan kembali nilai-nilai sejarah yang telah
memudar, terutama dikalangan generasi muda,” ungkap Rajo Firman.
Kendati demikian, Rajo Tan Ameh
ini mengaku, selalu bergerak dan berjalan terus untuk melestarikan
kebudayaan Jambu Lipo, meski dengan segala keterbatasan yang ada.
Bahkan, saat pihak Kerajaan juga telah membentuk sebuah Badan
Pelestarian Adat dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo. Serta membentuk
sebuah sanggar seni tradisional dengan nama Kalambu Suto.
“Kita selalu melestarikan
kebudayaan yang telah ada sejak turun-temurun dulunya. Seperti tari
tanduak, basilek, dan lain sebagainya,” ujar Rajo Alam itu.
Tour De Jambu Lipo
Di sisi lain, tradisi adat yang
tak pernah hilang yaitu, Rajo manjalang rantau (mengunjungi daerah
rantaunya). Hal ini bertujuan untuk memberikan sitawa sidingin (pengobat rindu dan mengenang masa lampau), seperti ungkapan, Duduak Pangulu Sangketo Abih, Bajalan Rajo Nagari salasai (kalau Penghulu datang semua perselihan akan habis, berjalannya Raja, semua persoalan yang ada di Nagari akan selesai).
Menurut Rajo Firman, tujuan manjalang Rantau ini juga untuk menjalin silaturrahmi antara pusat Kerajaan dengan Nagari Rantau.
“Kita akan mengunjungi sebanyak
27 daerah yang ada di Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya dan Kabupaten
Solok Selatan. Makanya, bahasa modernnya kita sebut Tour De Jambu
Lipo,” tuturnya sembari senyum.
Perjalanan ketiga Rajo atau
Rajo Tigo Selo ini mengunjungi Rantau, akan menghabiskan sekitar satu
bulan perjalanan. Serta, para Rajo akan melakukan prosesia adat sesuai
dengan yang telah dilaksanakan secara turun-temurun.
“Kita melakukan perjalanan
manjalang Rantau ini, sebanyak satu kali dalam tiga Tahun. Ada sebagian
berjalan kaki, dengan kendaraan darat, dan adanya juga yang mengikuti
aliran sungai dengan perahu. Makanya kita sebut Tour De Jambu Lipo ini,
Tour De terpanjang,” tutupnya. (*)
No comments:
Post a Comment